Selasa, 21 September 2021

KD.3.4 ETIKA DAN KODE ETIK PROFESI HUMAS

Materi Kelas XI OTKP

KD.3.4 ETIKA DAN KODE ETIK PROFESI HUMAS


Etika dan Kode Etik Profesi Humas – Materi ini terdapat pada Bab 4 tentang Etika dan Kode Etik Profesi Humas untuk teori kejuruan SMK Otomatisasi Tata Kelola Perkantoran di kelas 11.

Tujuan Pembelajaran

  • Menerapkan profesi humas
  • Melaksanakan etika dan kode etik profesi humas

1. Pengertian dan Ciri-ciri Profesi Humas

A. Pengertian Profesi

Profesi berasal dari bahasa Latin, yaitu “ professuess” yang berarti suatu kegiatan atau pekerjaan yang semula dihubungkan dengan sumpah dan janji bersifat religius

Dapat diartikan bahwa secara historis pemakaian istilah profesi tersebut, seseorang yang memiliki profesi berarti memiliki ikatan bathin dengan pekerjaannya. Jika terjadi pelanggaran sumpah jabatan yang dianggap telah menodai “kesucian” profesi tersebut.

A. Profesi Khusus

Profesi khusus adalah para profesional yang melaksanakan profesi secara khusus untuk mendapatkan nafkah atau penghasilan tertentu sebagai tujuan pokoknya.: (Politik,Hukum,kedoteran,pendidikan,teknik,humas,konsultan dll)

B. Profesi Luhur

Profesi Luhur adalah para professional yang melaksnakan profesinya tidak untuk mendapatkan nafkah sebagai tujuan utamanya, tetapi hanya untuk dedikasi atau jiwa pengabdiannya.:( Keagamaan.pendidikan,sosial,budaya, seni dll)

C. Definisi Profesi Humas

Menurut “Howard Stephenson” dalam buku Handbook of public relation (1971) Pofesi Humas artinya dapat dinilai sebagai suatu profesi, dalam praktiknya merupakan seni keterampilan memberikan pelayanan tertentu berdasarkan kualifikasi pendiddikan dan pelatihan serta memiliki pengetahuan memadai yang harus sesuai dengan standar etika profesi.

2. Ciri-ciri Profesi Humas

  • Memiliki kemampuan, pengetahuan tinggi yang tidak dimiliki oleh orang umum lainnya. Baik dieroleh dari hasil pendidikan atau pelatihan yang diikutinya.
  • Memiliki kode etik yang merupakan standar moral bagi setiap profesi yang dituangkan secara formasl, tertulias dan normatif.
  • Memiliki tanggungjawab profesi
  • Memiliki niwa pengabdi kepada publik atau masyarakat dengan penuh dedikasi profesi luhur disandangnya.
  • Otomatisasi organisasi professional, yaitu memiliki kemampuan untuk mengelola (manajemen) organisasi humas.
  • Menjaga anggota
A.    Pengertian Kode Etik
Dari segi etimologi (asal kata), istilah etika berasal dari kata latin ethicus yang berarti kebiasaan. Sesuatu dianggap etis atau baik, apabila sesuai dengan kebiasaan masyarakat. Kenyataannya, banyak orang tertarik untuk mempelajari etika, sehingga terdapat pengertian lain tentang etika ialah sebagai studi atau ilmu yang membicarakan perbuatan atau tingkah laku manusia, mana yang dinilai baik dan mana pula yang dinilai buruk.
Courtland L. Bovee dan John V. Thill mendefinisikan etika adalah prinsip perilaku yang mengatur seseorang atau sekelompok orang. Orang yang tidak memiliki etika, melakukan apapun yang diperlalukan untuk mencapai tujuannya. Orang – orang yang memiliki etika umumnya dapat dipercaya, adil, dan tidak memihak, menghargai orang lain, dan menunjukan kepedulian terhadap dampak atas tindakan di masyarakat.[1]
Secara umum kode etik merupakan suatu sistem norma, nilai, dan aturan profesional tertulis yang secara tegas menyatakan apa yang benar dan apa yang salah, apa yang baik dan apa yang tidak baik. Kode etik juga menyatakan perbuatan apa saja yang harus dilakukan dan perbuatan apa saja yang harus dihindari. Singkatnya, kode etik adalah suatu pola aturan, tata cara, pedoman, dan batasan-batasan ketika melakukan suatu kegiatan atau pekerjaan dengan tujuan untuk meningkatakan kualitas anggota perusahaan. Kode etik biasanya berupa aturan tertulis yang sistematis dan dengan sengaja dibuat berdasarkan prinsip-prinsip moral yang ada dan ketika dibutuhkan dapat difungsikan sebagaimana mestinya.
B.     Fungsi Kode Etik dalam Kegiatan Humas
Menurut Gibson dan Michel (1945:449) fungsi dari kode etik adalah sebagai pedoman atau perlindungan dalam pelaksanaan tugas profesional dan pedoman bagi masyarakat sebagai seorang profesional. Sedangakan menurut Biggs dan Blocher (1986:10) mengemukakan 3 fungsi dari kode etik, yaitu:
a)     Melindungi suatu profesi dari campur tangan pemerintah
Dengan adanya kode etik yang mengatur hubungan antara praktisi humas dengan pihak pemerintah akan semakin memperjelas tentang apa yang boleh dilakukan dan apa yang tidak boleh dilakukan. Hal ini menjadi sangat penting, karena dengan terjalinya hubungan baik dengan pihak pemerintah sebagai pemangku kebijakan suatu daerah tentunya sangat berpengaruh terhadap jalanya perusahaan, sehingga adanya kode etik ini dapat meminimalisir tindak semena-mena pemerintah terhadap perusahaan.
b)     Mencegah terjadinya pertentangan internal dalam suatu profesi
Dengan adanya kode etik humas akan memberikan penjelasan tentang bagaimana cara menjalin hubungan yang baik dengan rekan kerja, yang tentunya akan sangat berpengaruh terhadap performa dan motivasi kerja dari masing-masing aggota humas.
c)     Melindungi para praktisi dari kesalahan praktik suatu profesi
Dengan adanya kode etik humas tentunya sangat berkaitan dengan hasil kerja para praktisi dalam profesi humas. Praktisi humas yang bijaksana tidak akan memberikan kemudahan terhadap penyelewengan kerja, yang mana tindakan tersebut akan berdampak negatif baik terhadap dirinya sendiri maupun terhadap perusahaan. Praktisi humas yang baik, yang taat terhadap kode etik adalah mereka yang meminimalisir sekecil apapun kesalahan dalam berkeja serta menjaga nama baik profesinya.
Sedangkan beberapa pihak mengatakan bahwa, fungsi kode etik hanyalah “ khotbah untuk panduan suara” dan tidak membantu jika diperlukan : yakni tidak membantu training etika dan penalaran moral atau pengembangan moral. Kode etik itu sebagai lembaga pedoman yang konsisten untuk praktik PR di seluruh dunia. Apakah kode itu dipakai atau tidak, itu biasanya tergantung kepada siapa yang bertanggung jawab dalam pembentukan keputusan etis. Seoramg ahli etika mengatakan : Dasar pembuatan keputusan etis di bidang kita akan terus berada di tangan praktisi individual.[2]
C.    Macam-Macam Kode Etik Humas
Ada 4 macam kode etik yang harus praktisi humas taati. Keempat kode etik tersebut adalah sebagai berikut:
a)     Code of conduct, yaitu etika perilaku sehari-hari terhadap integritas pribadi, klien dan majikan, media dan umum, serta perilaku terhadap rekan seprofesi.
b)     Code of professionyaitu etika dalam melaksanakan tugas/profesi humas.
c)     Code of publicationyaitu etika dalam kegiatan proses dan teknis publikasi.
d)     Code of enterpriseyaitu menyangkut aspek peraturan pemerintah seperti hukum perizinan dan usaha, hak cipta, merk, dll.
D.    Etika Sebagai Standar Perilaku Sosial
            Etika terkait dengan apa yang secara moral dianggap benar atau salah dalam perilaku sosial, biasanya ditentukan oleh standar profesi, organisasi, dan individu. Perilaku beretika merupakan pertimbangan utama yang membedakan antara warga yang beradap dengan yang tidak dalam masyarakat. Allen Center mengusulkan lima faktor yang mengatur perilaku sosial.
1.     Tradisi. Bagaimana sebuah situasi dipandang dan diberlakukan pada masa lalu.
2.     Opini Public. Perilaku yang dapat diterima oleh mayoritas orang pada saat ini.
3.     Hukum. Perilaku yang dibolehkan dan yang dilarang oleh undang-undang.
4.     Moralitas. Umumnya terkait dengan apa yang dibolehkan dan dilarang pleh ajaran agama.
5.     Etika. Standar yang disusun oleh profesi, organisasi, atau diri sendiri, berdasarkan suara hati- apa yang benar dan adil untuk orang lain dan untuk diri sendiri.[3]
E.     Pentingya Kode Etik Bagi Praktisi Humas
Salah satu alasan mengapa industri PR memunculkan kritik adalah kapan pula pada saat politisi, perusahaan, ataupun selebritis bermasalah maka tindakan pertama yang dilakukan PR adalah selalu menjadi penasihat mereka. Namun demikian, kebanyakan penunjukan praktisi PR untuk suatu kasus akan membawa dampak baik, karena akan memberikan kejelasan dan memberikan manfaat bagi setiap orang yang terkait, termasuk media massa. Hal ini menunjukkan  bahwa pada dasarnya bukan praktisi PR-nya yang tidak bersifat etis sehingga membutuhkan pandangan netral terhadap PR.
            Baker & Martinson (2002) mengatakan ada lima prinsip yang harus di patuhi individu dalam melakukan pekerjaan. Prinsip tersebut yaitu kebenaran ( truthfulness), otentisitas (authenticity), rasa hormat (respect), dan tanggung jawab social (social responsibility). Untuk prinsip kebenaranya, para praktisi PR ada dalam pengawasan ketat, khusunya oleh paara jurnalis yang menganggap bahwa praktisi PR adalah “musuh”.[4]
Sebagaimana lazimnya kaum profesional, praktisi humas (public relations) memiliki etika profesi atau kode etik humas yang harus ditaati, sehingga praktisi PR harus memiliki standar etika personal yang tinggi yang mengilhami kerjanya sebagai PR.
Seorang praktisi humas dikatakan profesional apabila pribadinya mampu memahami dan menerapkan kode etik dengan benar sesuai profesi yang diembannya dan memberikan dampak yang positif baik bagi profesinya maupun bagi dirinnya sendiri.
Sebagai contoh seorang humas dituntut memiliki kemampuan seperti berkomunikasi, mengorganisir, bergaul, berelasi, dan berkepribadian yang kuat. Selain itu juga harus memiliki ketrampilan yang tinggi dalam bidang penguasaan teknologi informasi untuk menunjang tuntutan pekerjaanya. Dari kemampuan dan ketrampilan tersebut dapat dikatakan bahwa seorang praktisi humas adalah seorang yang profesional jika mampu menjalankannya sesuai kode etik yang telah ditetapkan.
Dizaman yang serba modern seperti sekarang ini serta tantangan masa depan yang semakin besar, yang ditandai dengan munculnya kebebasan pers, kebebasan mengeluarkan pendapat dan berekspresi, terlebih dalam bidang teknologi dan informasi seorang praktisi humas dalam melaksanakan peran dan aktivitasnya tidak boleh lepas dari kode etik yang dimilikinya. Karena kode etik itulah yang menjadi standart moral yang harus dipengang oleh para praktisi humas agar dirinya tetap hidup. Kesadaran memegang teguh kode etik berpengaruh terhadap posisi dirinya dimata masyarakat. Ia juga dapat menjalankan tugas dan kewajibannya dengan penuh tanggung jawab dan setiap kemampuan dan ketrampilan yang dimilikinya dapat diolah dengan baik untuk menciptakan konsep kerja yang baik terhadap perusahaan yang diwakilinya, masyarakat dan lebih besar lagi dampaknya adalah bagi dirinya sendiri.
F.     Dampak Tidak Dijalankannya Kode Etik Humas
Kode etik humas merupakan acuan dari setiap kebijakan yang diambil praktisi humas dalam menjalankan tugas dengan penuh tanggung jawab. Seorang humas profesional akan bekerja dengan penuh kesadaran terhadap kode etik yang dimiliki, maka ia akan bekerja sesuai dengan kemampuan terbaik dan memperhatikan semua pekerjaannya agar sesuai dengan kode etik.
Dampak dari tidak dijalankannya kode etik humas berpengaruh terhadap praktisi humas sendiri maupun perusahaan.
Menurut Dimock dan Koenig (1987) , pada umumnya tugas- tugas dari pihak humas instansi atau lembaga pemerintah haruslah di jalankan sesuai dengan etika yang ada, yaitu sebagai berikut :
1.     Upaya memberikan penerangan atau informasi kepada masyarakat tentang pelayanan masyarakat, kebijakan serta tujuan yang akan dicapai oleh pemerintah dalam melaksanakan program kerja tersebut.
2.     Mampu untuk menanamkan keyakinan dan kepercayaan serta mengajak masyarakat dalam partisipasinya atau ikut serta pelaksanaan program pembangunan di berbagai bidang sosial, budaya, ekonomi, politik serta menjaga stabilitas dan keamanan nasional.
3.     Kejujuran dalam pelayanan dan pengapdian dari aparatur pemerintah yang bersangkutan perlu dipelihara atau dipertahankan dalam melaksanakan tugas serta kewajibannya masing-masing.[5]
Bagi praktisi humas yang bekerja tidak sesuai kode etik akan mendapatkan penilaian negatif dari rekan sejawat, yang terparah adalah penurunan pangkat atau bahkan dikeluarkan dari tempat kerjanya.
Bagi perusahaan yang tidak menjalankan kode etiknya maka akan mendapatkan citra negatif di masyarakat, dan apabila citra ini berkembang maka akan sangat mempengaruhi kinerja perusahaan.
Kode etik memang tidak ada sanksinya, dan yang berhak  menyatakan apakah ia melanggar kode etik atau tidak adalah asosiasi profesi itu sendiri. Tidak ada satu pihak pun di luar asosiasi profesinya yang akan berhak menjatuhkan sanksi ihwal pelanggaran kode etik ini.[6]
G.    Contoh Kode Etik Humas (diambil dari perhumas.ord.id)
KODE ETIK PROFESI
PERHUMAS INDONESIA
Dijiwai oleh Pancasila maupun UUD 1945 sebagai landasan tata kehidupan nasional; Diilhami oleh Piagam PBB sebagai landasan tata kehidupan internasional; Dilandasi oleh Deklarasi Asean (8 Agustus 1967) sebagai pemersatu bangsa-bangsa Asia Tenggara; dan dipedomi oleh cita-cita, keinginan dan tekad untuk mengamalkan sikap dan perilaku kehumasan secara professional; kami para anggota Perhimpunan Hubungan Masyarakat Indonesia – PERHUMAS INDONESIA sepakat untuk mematuhi Kode Etik Kehumasan Indonesia, dan bila terdapat bukti-bukti diantara kami dalam menjalankan profesi kehumasan ternyata ada yang melanggarnya, maka hal itu sudah tentu mengakibatkan diberlakukannya tindak organisasi terhadap pelanggarnya.
Pasal 1
KOMITMEN PRIBADI
Anggota PERHUMAS harus :
  1. Memiliki dan menerapkan standar moral serta reputasi setinggi mungkin dalam menjalankan profesi kehumasan
  2. Berperan secara nyata dan sungguh-sungguh dalam upaya memasyarakatan kepentingan Indonesia
  3. Menumbuhkan dan mengembangkan hubungan antar warga Negara Indonesia yang serasi daln selaras demi terwujudnya persatuan dan kesatuan bangsa.
Pasal II
PERILAKU TERHADAP KLIEN ATAU ATASAN
Anggota PERHUMAS INDONESIA harus:
  1. Berlaku jujur dalam berhubungan dengan klien atau atasan
  2. Tidak mewakili dua atau beberapa kepentingan yang berbeda atau yang bersaing tanpa persetujuan semua pihak yang terkait
  3. Menjamin rahasia serta kepercayaan yang diberikan oleh klien atau atasan, maupun yang pernah diberikan oleh mantan klien atau mantan atasan
  4. Tidak melakukan tindak atau mengeluarkan ucapan yang cenderung merendahkan martabat, klien atau atasan, maupun mantan klien atau mantan atasan
  5. Dalam memberi jasa-jasa kepada klien atau atasan, tidak akan menerima pembayaran, komisi atau imbalan dari pihak manapun selain dari klien atau atasannya yang telah memperoleh kejelasan lengkap
  6. Tidak akan menyerahkan kepada calon klien atau calon atasan bahwa pembayaran atau imbalan jasa-jasanyaharus didasarkan kepada hasil-hasil tertentu, atau tidak akan menyetujui perjanjian apapun yang mengarah kepada hal yang serupa 
Pasal III
PERILAKU TERHADAP MASYARAKAT DAN MEDIA MASSA
Anggota PERHUMAS INDONESIA harus:
  1. Menjalankan kegiatan profesi kehumasan dengan memperhatikan kepentingan masyarakat serta harga diri anggota masyarakat
  2. Tidak melibatkan diri dalam tindak memanipulasi intergritas sarana maupun jalur komunikasi massa
  3. Tidak menyebarluaskan informasi yang tidak benar atau yang menyesatkan sehingga dapat menodai profesi kehumasan
  4. Senantiasa membantu untuk kepentingan Indonesia
Pasal IV
PERILAKU TERHADAP SEJAWAT
Praktisi Kehumasan Indonesia harus:
  1. Tidak dengan sengaja merusak dan mencemarkan reputasi atau tindak professional sejawatnya. Namun bila ada sejawat bersalah karena melakukan tindakan yang tidak etis, yang melanggar hukum, atau yang tidak jujur, termasuk melanggar Kode Etik Kehumasan Indonesia, maka bukti-bukti wajib disampaikan kepada Dewan Kehormatan PERHUMAS INDONESIA
  2. Tidak menawarkan diri atau mendesak klien atau atasan untuk menggantikan kedudukan sejawatnya
  3. Membantu dan berkerja sama dengan sejawat di seluruh Indonesia untuk menjunjung tinggi dan mematuhi Kode Etik Kehumasan ini. [7]
H.    Praktisi Public Relations Profesional
Public Relations adalah profesi yang menuntut intregritas antara pengetahuan (expertise), keahlian (skill), dan etika profesi (ethics). Seseorang praktisi public relations dituntut mempunyai 3B (beauty,brain dan behavior). Tidak hanya cantik, ganteng dan penampilan menarik (beauty), tetapi juga harus berwawasan luas dan skillful (brain/expertise), dan berperilaku baik (behavior/ethics).[8]
Selain itu public relation di tuntut mempunyai kemampuan dalam praktik komunikasi organisasi, manajemen krisis dan manajemne isu, dan riset. Pengetahuan tentang komunikasi organisasi yang baik diperlukan karena kegiatan public relations berada dalam lingkup organisasi.
Seorang public relations juga perlu bekal keahlian dalam manajemen krisis dan isu. Setiap perusahaan pasti mengalami krisis dan isu dalam hidupnya. Kritis dapat berasal dari internal ataupun eksternal perusahaan. Krisis yang dikelola dengan baik akan menjadi awal peningkatan citra perusahaan menuju kondisi yang lebih baik. Namun krisis yang tidak dikelola dengan baik akan membuat citra perusahaan jatuh.
Pengetahuan tentang riset perlu dikuasasi, mengingat pekerjaan public relations adalah “ based on facts” (berdasarkan fakta-fakta). Fakta diperlukan berdasarkan keputusan yang diambil. Pada akhirnya segala aktivitas public relations bermuara pada terjalinya “harmonisasi” dalam operasional sehari-hari organisasi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pemanfaatan Sarana dan Prasarana Kantor

Konsep Pemanfaatan Sarana dan Prasarana Kantor 1.     Pengertian pemanfaatan Sarana dan prasarana Menurut kamus besar bahasa ind...